PANCASILA
SEBAGAI PARADIGMA KEHIDUPAN BERBANGSA DAN BERNEGARA
Pancasila adalah dasar filsafat
Negara Republik Indonesia yang secara
resmi di sahkan oleh PPKI pada tanggal 18 agustus 1945 dan
tercantum
dalam pembukuan UUD 1945, di undangkan dalam berita Republik. Indonesia tahun II No. 7
bersama-sama dengan batang tubuh UUD 1945. Dalam perjalanan sejarah eksistensi
Pancasila sebagai dasar filsafat Negara Republik Indonesia mengalami
berbagai macam interpretasi dan manipulasi politik sesuai denan kepentingan
penguasa demi kokoh dan tegaknya kekuasaan
yang berlindung dibalik legitimasi ideologi Negara pancasila. Berdasarkan
alas an dan kenyataan objektif tersebut diatas maka sudah menjadi
tanggung jawab kita bersama sebagai warga Negara untuk mengembangkan
serta mengkaji pancasila sebagai suatu hasil karya besar bangsa
kota yang setingkat dengan paham atau isme-isme besar dunia dewasa
ini seperti liberalism, sosialisme, komunisme. Oleh karena itu kiranya
merupakan tugas berat kalangan intelektual untuk mengembalikan persepsi
rakyat yang keliru tersebut kearah cita-cita bersama bagi bangsa Indonesia
dalam hidup bernegara B. Pengertian Pradigma
Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia (2003) yang dilaksud dengan paradigma adalah
daftar semua bentukan dari sebuah kata yang memperlihatkan konjugasi dan
deklinasi kata tersebut (Ling), model
dalam teori ilmu pengetahuan, kerangka berpikir.
aradigma secara sederhana dapat diartikan sebagai kerangka pikir untuk melihat suatu permasalahan. Paradigma secara sederhana dapat diartikan sebagai kerangka pikir untuk melihat suatu permasalahan. Pengertian paradigma berkembang dari definisi paradigma pengetahuan yang dikembangkan oleh Thomas Kuhn dalam rangka menjelaskan cara kerja dan mengembangkan ilmu pengetahuan khususnya ilmu-ilmu alam. Paradigma pengetahuan merupakan perspektif intelektual yang dalam kondisi normal memberikan pedoman kerja terhadap ilmuwan yang membentuk ‘masyarakat ilmiah’ dalam disiplin tertentu.
Robert Winslow menambahkan pengertian paradigma ilmiah sebagai gambaran intelektual yang daripadanya dapat ditentukan suatu subjek kajian. Perspektif intelektual inilah yang kemudian akan membentuk ilmu pengetahuan normal (normal science) yang mendasari pembentukan kerangka teoritis terhadap kajian-kajian ilmiah.
George Ritzer memberikan pengertian paradigma sebagai gambaran fundamental mengenai subjek ilmu pengetahuan. Paradigma memberikan batasan mengenai apa yang harus dikaji, pertanyaan yang harus diajukan, bagaimana harus dijawab dan aturan-aturan yang harus diikuti dalam memahami jawaban yang diperoleh.
Paradigma ialah unit konsensus yang amat luas dalam ilmu pengetahuan dan dipakai untuk melakukan pemilahan masyarakat ilmu pengetahuan (sub-masyarakat) yang satu dengan masyarakat pengetahuan yang lain. Paradigma membantu para ilmuwan dan teoritisi intelektual untuk memandu, mengintegrasikan dan menafsirkan karya mereka agar terhindar dari penciptaan informasi yang acak dan tidak beraturan.
Menurut Kuhn, tidak ada sejarah kehidupan yang dapat diinterpretasikan tanpa sekurang-kurangnya beberapa bentuk teori dan keyakinan metodologik implicit yang berkaitan satu sama lain yang memungkinkan untuk melakukan seleksi, evaluasi dan bersikap kritis. Meskipun terlihat terlalu bernuansa akademis, sebenarnya paradigma tidak menjadi bahan kaji atau dominasi para kaum intelektual untuk mengembangkan ilmu pengetahuan, paradigma juga mungkin diterapkan pada ranah-ranah kehidupan sosial yang lain. Sebenarnya Kuhn mendapatkan gagasannya mengenai paradigma tersebut dari dunia sejarah dan sastra yang kemudian diterapkannya ke dalam domain ilmu-ilmu alam yang pada waktu itu dianggap sebagai satu-satunya ilmu pengetahuan yang bersifat ilmiah. Sedangkan cabang ilmu pengetahuan yang sekarang telah dianggap sebagai ilmu, dulunya hanya dianggap sebagai seni saja misalnya sejarah, sastra, dan politik.
.
a.
Pancasila
Sebagai Paradigma Pembangunan Politik
Manusia Indonesia selaku warga
negara harus ditempatkan sebagai subjek atau pelaku politik bukan sekadar objek
politik. Pancasila bertolak dari kodrat manusia maka pembangunan politik harus
dapat meningkatkan harkat dan martabat manusia. Sistem politik Indonesia yang
bertolak dari manusia sebagai subjek harus mampu menempatkan kekuasaan
tertinggi pada rakyat. Kekuasaan adalah dari rakyat, oleh rakyat dan untuk
rakyat. Sistem politik Indonesia yang sesuai pancasila sebagai paradigma adalah
sistem politik demokrasi bukan otoriter.
Berdasar hal itu, sistem politik
Indonesia harus dikembangkan atas asas kerakyatan (sila IV Pancasila).
Pengembangan selanjutnya adalah sistem politik didasarkan pada asas-asas moral daripada
sila-sila pada pancasila. Oleh karena itu, secara berturut-turut sistem politik
Indonesia dikembangkan atas moral ketuhanan, moral kemanusiaan, moral
persatuan, moral kerakyatan, dan moral keadilan.
Perilaku politik, baik dari warga
negara maupun penyelenggara negara dikembangkan atas dasar moral tersebut
sehingga menghasilkan perilaku politik yang santun dan bermoral.
Pancasila sebagai paradigma
pengembangan sosial politik diartikan bahwa Pancasila bersifat sosial-politik
bangsa dalam cita-cita bersama yang ingin diwujudkan dengan menggunakan
nilai-nilai dalam Pancasila. Pemahaman untuk implementasinya dapat dilihat
secara berurutan-terbalik:
·
Penerapan
dan pelaksanaan keadilan sosial mencakup keadilan politik, budaya, agama, dan
ekonomi dalam kehidupan sehari-hari;
·
Mementingkan
kepentingan rakyat (demokrasi) bilamana dalam pengambilan keputusan;
·
Melaksanakan
keadilan sosial dan penentuan prioritas kerakyatan berdasarkan konsep
mempertahankan persatuan;
·
Dalam
pencapaian tujuan keadilan menggunakan pendekatan kemanusiaan yang adil dan
beradab;
·
Tidak dapat
tidak; nilai-nilai keadilan sosial, demokrasi, persatuan, dan kemanusiaan
(keadilan-keberadaban) tersebut bersumber pada nilai Ketuhanan Yang Maha Esa.
Di era globalisasi informasi seperti
sekarang ini, implementasi tersebut perlu direkonstruksi kedalam pewujudan
masyarakat-warga (civil society) yang mencakup masyarakat tradisional (berbagai
asal etnik, agama, dan golongan), masyarakat industrial, dan masyarakat purna
industrial. Dengan demikian, nilai-nilai sosial politik yang dijadikan moral
baru masyarakat informasi adalah:
Ø nilai
toleransi;
Ø nilai
transparansi hukum dan kelembagaan;
Ø nilai kejujuran
dan komitmen (tindakan sesuai dengan kata);
Ø bermoral
berdasarkan konsensus (Fukuyama dalam Astrid: 2000: 3).
b.
Pancasila
Sebagai Paradigma Pembangunan Ekonomi
Sesuai dengan paradigma pancasila
dalam pembangunan ekonomi maka sistem dan pembangunan ekonomi berpijak pada
nilai moral daripada pancasila. Secara khusus, sistem ekonomi harus mendasarkan
pada dasar moralitas ketuhanan (sila I Pancasila) dan kemanusiaan ( sila II
Pancasila). Sistem ekonomi yang mendasarkan pada moralitas dam humanistis akan
menghasilkan sistem ekonomi yang berperikemanusiaan. Sistem ekonomi yang
menghargai hakikat manusia, baik selaku makhluk individu, sosial, makhluk
pribadi maupun makhluk tuhan.
Sistem ekonomi yang berdasar
pancasila berbeda dengan sistem ekonomi liberal yang hanya menguntungkan
individu-individu tanpa perhatian pada manusia lain. Sistem ekonomi demikian
juga berbeda dengan sistem ekonomi dalam sistem sosialis yang tidak mengakui
kepemilikan individu.
Pancasila bertolak dari manusia sebagai
totalitas dan manusia sebagai subjek. Oleh karena itu, sistem ekonomi harus
dikembangkan menjadi sistem dan pembangunan ekonomi yang bertujuan pada
kesejahteraan rakyat secara keseluruhan. Sistem ekonomi yang berdasar pancasila
adalah sistem ekonomi kerakyatan yang berasaskan kekeluargaan. Sistem ekonomi
Indonesia juga tidak dapat dipisahkan dari nilai-nilai moral kemanusiaan.
Pembangunan ekonomi harus mampu
menghindarkan diri dari bentuk-bentuk persaingan bebas, monopoli dan bentuk
lainnya yang hanya akan menimbulkan penindasan, ketidakadilan, penderitaan, dan
kesengsaraan warga negara.
Pancasila sebagai paradigma
pengembangan ekonomi lebih mengacu pada Sila Keempat Pancasila; sementara
pengembangan ekonomi lebih mengacu pada pembangunan Sistem Ekonomi Indonesia.
Dengan demikian subjudul ini menunjuk pada pembangunan Ekonomi Kerakyatan atau
pembangunan Demokrasi Ekonomi atau pembangunan Sistem Ekonomi Indonesia atau
Sistem Ekonomi Pancasila.
Dalam Ekonomi Kerakyatan,
politik/kebijakan ekonomi harus untuk sebesarbesar kemakmuran/kesejahteraan
rakyat yang harus mampu mewujudkan perekonomian nasional yang lebih berkeadilan
bagi seluruh warga masyarakat (tidak lagi yang seperti selama Orde Baru yang
telah berpihak pada ekonomi besar/konglomerat). Politik Ekonomi Kerakyatan yang
lebih memberikan kesempatan, dukungan, dan pengembangan ekonomi rakyat yang
mencakup koperasi, usaha kecil, dan usaha menengah sebagai pilar utama
pembangunan ekonomi nasional.
Oleh sebab itu perekonomian disusun
sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Bangun perusahaan yang
sesuai dengan ini ialah koperasi. Ekonomi Kerakyatan akan mampu mengembangkan
program-program kongkrit pemerintah daerah di era otonomi daerah yang lebih
mandiri dan lebih mampu mewujudkan keadilan dan pemerataan pembangunan daerah.
Dengan demikian, Ekonomi Kerakyatan
akan mampu memberdayakan daerah/rakyat dalam berekonomi, sehingga lebih adil,
demokratis, transparan, dan partisipatif. Dalam Ekonomi Kerakyatan, Pemerintah
Pusat (Negara) yang demokratis berperanan memaksakan pematuhan
peraturan-peraturan yang bersifat melindungi warga atau meningkatkan kepastian
hukum.
c.
Pancasila
Sebagai Paradigma Pembangunan Sosial Budaya
Pancasila pada hakikatnya bersifat
humanistik karena memang pancasila bertolak dari hakikat dan kedudukan kodrat
manusia itu sendiri. Hal ini sebagaimana tertuang dalam sila Kemanusiaan yang
adil dan beradab. Oleh karena itu, pembangunan sosial budaya harus mampu
meningkatkan harkat dan martabat manusia, yaitu menjadi manusia yang berbudaya
dan beradab. Pembangunan sosial budaya yang menghasilkan manusia-manusia
biadab, kejam, brutal dan bersifat anarkis jelas bertentangan dengan cita-cita
menjadi manusia adil dan beradab.
Manusia tidak cukup sebagai manusia
secara fisik, tetapi harus mampu meningkatkan derajat kemanusiaannya. Manusia
harus dapat mengembangkan dirinya dari tingkat homo menjadi human. Berdasar sila persatuan Indonesia, pembangunan sosial
budaya dikembangkan atas dasar penghargaan terhadap nilai sosial dan
budaya-budaya yang beragam di seluruh wilayah Nusantara menuju pada tercapainya
rasa persatuan sebagai bangsa.
Perlu ada pengakuan dan penghargaan
terhadap budaya dan kehidupan sosial berbagai kelompok bangsa Indonesia
sehingga mereka merasa dihargai dan diterima sebagai warga bangsa. Dengan
demikian, pembangunan sosial budaya tidak menciptakan kesenjangan, kecemburuan,
diskriminasi, dan ketidakadilan sosial. Paradigma-baru dalam pembangunan
nasional berupa paradigma pembangunan berkelanjutan, yang dalam perencanaan dan
pelaksanaannya perlu diselenggarakan dengan menghormati hak budaya
komuniti-komuniti yang terlibat, di samping hak negara untuk mengatur kehidupan
berbangsa dan hak asasi individu secara berimbang (Sila Kedua).
Hak budaya komuniti dapat sebagai
perantara/penghubung/penengah antara hak negara dan hak asasi individu.
Paradigma ini dapat mengatasi sistem perencanaan yang sentralistik dan yang
mengabaikan kemajemukan masyarakat dan keanekaragaman kebudayaan Indonesia.
Dengan demikian, era otonomi daerah tidak akan mengarah pada otonomi suku
bangsa tetapi justru akan memadukan pembangunan lokal/daerah dengan pembangunan
regional dan pembangunan nasional (Sila Keempat), sehingga ia akan menjamin
keseimbangan dan kemerataan (Sila Kelima) dalam rangka memperkuat persatuan dan
kesatuan bangsa yang akan sanggup menegakan kedaulatan dan keutuhan wilayah NKRI
(Sila Ketiga).
Apabila dicermati, sesungguhnya
nilai-nilai Pancasila itu memenuhi kriteria sebagai puncak-puncak kebudayaan,
sebagai kerangka-acuan-bersama, bagi kebudayaan - kebudayaan di daerah:
1)
Sila
Pertama, menunjukan tidak satu pun sukubangsa ataupun golongan sosial dan
komuniti setempat di Indonesia yang tidak mengenal kepercayaan terhadap Tuhan
Yang Maha Esa;
2)
Sila Kedua,
merupakan nilai budaya yang dijunjung tinggi oleh segenap warganegara Indonesia
tanpa membedakan asal-usul kesukubangsaan, kedaerahan, maupun golongannya;
3)
Sila Ketiga,
mencerminkan nilai budaya yang menjadi kebulatan tekad masyarakat majemuk di
kepulauan nusantara untuk mempersatukan diri sebagai satu bangsa yang
berdaulat;
4)
Sila Keempat, merupakan nilai budaya yang luas
persebarannya di kalangan masyarakat majemuk Indonesia untuk melakukan
kesepakatan melalui musyawarah. Sila ini sangat relevan untuk mengendalikan
nilai-nilai budaya yang mendahulukan kepentingan perorangan;
5)
Sila Kelima,
betapa nilai-nilai keadilan sosial itu menjadi landasan yang membangkitkan
semangat perjuangan bangsa Indonesia dalam memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikutserta melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
d.
Pancasila
Sebagai Paradigma Pembangunan Hankam
Salah satu tujuan bernegara
Indonesia adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia. Hal ini mengandung makna bahwa tugas dan tanggung jawab tidak hanya
oleh penyelenggara negara saja, tetapi juga rakyat Indonesia secara
keseluruhan. Atas dasar tersebut, sistem pertahanan dan keamanan adalah
mengikut sertakan seluruh komponen bangsa. Sistem pembangunan pertahanan dan
keamanan Indonesia disebut sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta
(sishankamrata).
Sistem pertahanan yang bersifat
semesta melibatkan seluruh warga negara, wilayah, dan sumber daya nasional
lainnya, serta dipersiapkan secara dini oleh pemerintah dan diselenggarakan
secara total terpadu, terarah, dan berlanjut untuk menegakkan kedaulatan
negara, keutuhan wilayah, dan keselamatan segenap bangsa dari segala ancaman.
Penyelenggaraan sistem pertahanan semesta didasarkan pada kesadaran atas hak
dan kewajiban warga negara, serta keyakinan pada kekuatan sendiri.
Sistem ini pada dasarnya sesuai
dengan nilai-nilai pancasila, di mana pemerintahan dari rakyat (individu)
memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam masalah pertahanan negara dan bela
negara. Pancasila sebagai paradigma pembangunan pertahanan keamanan telah
diterima bangsa Indonesia sebagaimana tertuang dalam UU No. 3 Tahun 2002
tentang pertahanan Negara.
Dalam undang-undang tersebut
dinyatakan bahwa pertahanan negara bertitik tolak pada falsafah dan pandangan
hidup bangsa Indonesia untuk menjamin keutuhan dan tetap tegaknya Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
1945.
Dengan ditetapkannya UUD 1945, NKRI
telah memiliki sebuah konstitusi, yang di dalamnya terdapat pengaturan tiga
kelompok materi-muatan konstitusi, yaitu:
1)
adanya
perlindungan terhadap HAM
2)
adanya
susunan ketatanegaraan negara yang mendasar, dan
3)
adanya
pembagian dan pembatasan tugas-tugas ketatanegaraan yang juga mendasar. Sesuai
dengan UUD 1945, yang di dalamnya terdapat rumusan Pancasila, Pembukaan UUD
1945 merupakan bagian dari UUD 1945 atau merupakan bagian dari hukum positif.
Dalam kedudukan yang demikian, ia mengandung segi positif dan segi negatif. Segi
positifnya, Pancasila dapat dipaksakan berlakunya (oleh negara); segi
negatifnya, Pembukaan dapat diubah oleh MPR sesuai dengan ketentuan Pasal 37
UUD 1945.
Hukum tertulis seperti UUD termasuk
perubahannya, demikian juga UU dan peraturan perundang-undangan lainnya, harus
mengacu pada dasar negara (sila - sila Pancasila dasar negara).
Dalam kaitannya dengan Pancasila
sebagai paradigma pengembangan hukum, hukum (baik yang tertulis maupun yang
tidak tertulis) yang akan dibentuk tidak dapat dan tidak boleh bertentangan
dengan sila-sila:
- Ketuhanan Yang Maha Esa,
- Kemanusiaan yang adil dan beradab,
- Persatuan Indonesia,
- Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan
- Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dengan
demikian, substansi hukum yang dikembangkan harus merupakan perwujudan atau
penjabaran sila-sila yang terkandung dalam Pancasila. Artinya, substansi produk
hukum merupakan karakter produk hukum responsif (untuk kepentingan rakyat dan
merupakan perwujuan aspirasi rakyat).
Pancasila
Sebagai Paradigma Pembangunan Kehidupan Umat Beragama Bangsa Indonesia sejak
dulu dikenal sebagai bangsa yang ramah dan santun, bahkan predikat ini menjadi
cermin kepribadian bangsa kita di mata dunia internasional. Indonesia adalah
Negara yang majemuk, bhinneka dan plural. Indonesia terdiri dari beberapa suku,
etnis, bahasa dan agama namun terjalin kerja bersama guna meraih dan mengisi
kemerdekaan Republik Indonesia kita.
Namun
akhir-akhir ini keramahan kita mulai dipertanyakan oleh banyak kalangan karena
ada beberapa kasus kekerasana yang bernuansa Agama. Ketika bicara peristiwa
yang terjadi di Indonesia hampir pasti semuanya melibatkan umat muslim, hal ini
karena mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam. Masyarakat muslim di
Indonesia memang terdapat beberapa aliran yang tidak terkoordinir, sehingga
apapun yang diperbuat oleh umat Islam menurut sebagian umat non muslim mereka
seakan-seakan merefresentasikan umat muslim.
Paradigma
toleransi antar umat beragama guna terciptanya kerukunan umat beragama
perspektif Piagam Madinah pada intinya adalah seperti berikut:
- Semua umat Islam, meskipun terdiri dari banyak suku merupakan satu komunitas (ummatan wahidah).
- Hubungan antara sesama anggota komunitas Islam dan antara komunitas Islam dan komunitas lain didasarkan atas prinsip-prinsi:
- Bertentangga yang baik
- Saling membantu dalam menghadapi musuh bersama
- Membela mereka yang teraniaya
- Saling menasehati
- Menghormati kebebasan beragama.
Lima prinsip tersebut
mengisyaratkan:
- Persamaan hak dan kewajiban antara sesama warga negara tanpa diskriminasi yang didasarkan atas suku dan agama;
- Pemupukan semangat persahabatan dan saling berkonsultasi dalam menyelesaikan masalah bersama serta saling membantu dalam menghadapi musuh bersama. Dalam “Analisis dan Interpretasi Sosiologis dari Agama” (Ronald Robertson, ed.) misalnya, mengatakan bahwa hubungan agama dan politik muncul sebagai masalah, hanya pada bangsa-bangsa yang memiliki heterogenitas di bidang agama.
Hal ini
didasarkan pada postulat bahwa homogenitas agama merupakan kondisi kesetabilan
politik. Sebab bila kepercayaan yang berlawanan bicara mengenai nilai-nilai
tertinggi (ultimate value) dan masuk ke arena politik, maka pertikaian akan
mulai dan semakin jauh dari kompromi.
Dalam
beberapa tahap dan kesempatan masyarakat Indonesia yang sejak semula bercirikan
majemuk banyak kita temukan upaya masyarakat yang mencoba untuk membina kerunan
antar masayarakat. Lahirnya lembaga-lembaga kehidupan sosial budaya seperti
“Pela” di Maluku, “Mapalus” di Sulawesi Utara, “Rumah Bentang” di Kalimantan
Tengah dan “Marga” di Tapanuli, Sumatera Utara, merupakan bukti-bukti kerukunan
umat beragama dalam masyarakat.
Ke depan,
guna memperkokoh kerukunan hidup antar umat beragama di Indonesia yang saat ini
sedang diuji kiranya perlu membangun dialog horizontal dan dialog Vertikal.
Dialog Horizontal adalah interaksi antar manusia yang dilandasi dialog untuk
mencapai saling pengertian, pengakuan akan eksistensi manusia, dan pengakuan
akan sifat dasar manusia yang indeterminis dan interdependen.
Identitas
indeterminis adalah sikap dasar manusia yang menyebutkan bahwa posisi manusia
berada pada kemanusiaannya. Artinya, posisi manusia yang bukan sebagai benda
mekanik, melainkan sebagai manusia yang berkal budi, yang kreatif, yang
berbudaya.
2. Pancasila Sebagai Paradigma
Pembangunan POLEKSOSBUDHANKAM
Untuk
mencapai tujuan dalam hidup bermasyarakat berbangsa dan
bernegara bangsa
Indonesia melaksanakan pembangunan nasional. Hal ini
sebagai
perwujudan praksis dalam meningkatkan harkat dan martbatnya.
Tujuan Negara
yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945
adalah“Melindungi
segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia ”hal
ini merupakan
tujuan Negara Hokum formal, adapun rumusan“Memajukan
kesejahteraan
umum, mencerdaskan Kehidupan bangsa ”hal ini merupakan
tujuan Negara
hokum material, yang secara Keseluruhan sebagai tujuan
khusus atau
nasional. Adapun tujuan umum atau internasional adalah “ikut
melaksanakan
ketertiban Dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi dan
keadilan sosial”.
Jadi hakikat manusia merupakan sumber
nilai bagi pengembangan POLSEKSOSBUDHANKAM3. Pancasila Sebagai Paradigma Pengembangan Kehidupan Beragama
Pada
proses sekarang ini di beberapa wilayah negara Indonesia terjadi konflik sosial
yag bersumber pada masalah SARA terutama pada masalah agama. Oleh karena itu
tugas berat bagi bangsa Indonesia untuk mengembalikan suasana kehidupan
beragama yang penuh perdamaian. Pancasila telah memberikan dasar-dasar nilai
yang fundamental bagi umat Bangsa Indonesia untuk hidup secara damai dalam kehidupan beragama di negara
Indonesia. Oleh karena itu kehidupan beragama dalam negara Indonesa dewasa ini
harus dikembangkan kearah terciptanya kehidupan bersama yang penuh toleransi
saling menghargai berdasarkan nilai kemanusiaan yang beradab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar